UPACARA
VRATYASTOMA DAN
SISTEM KASTA PERTAMA DI INDONESIA
Upacara, kata upacara
berasal dari dua suku kata, yaitu; Upa dan Cara. Upa artinya dekat atau
mendekat. Dan Cara berasal dari kata “Car” yang berarti harmonis, seimbang,
selaras. Sedangkan menurut kamus besar bahasa indonesia, Upacara yaitu rangkaian
tindakan atau perbutan yg terikat kepada aturan-aturan tertentu menurut adat
atau agama.
Upacara vratyastoma sendiri adalah upacara
penyucian diri dalam agama hindu, sebelum seseorang masuk dalam agama hindu dan
menjadi anggota suatu kasta. Upacara vratyastoma
juga dilakukan ketika ada seseorang yang di keluarkan dari kasta. Melalui
upacara yang cukup berat ini, segala macam kesalahan dan dosa yang pernah
dilakukan oleh seorang anggota kasta dapat di hapus[1],
dan orang yang telah di keluarkan dari kasta dapat di terima kembali menjadi
anggota kasta.
Upacara vratyastoma
dalam agama hindu ini dikenal dan diterapkan oleh bangsa Indonesia pertama kali
diperkirakan di wilayah Kalimantan Timur, karena pada tahun 1879 ditemukan 7
buah prasasti yupa, tepatnya di Bukit
Berubus, Muara Kaman, yang mengindikasikan adanya kerajaan pada masa itu, pada
prasasti yupa ini bahasa yang di
gunakan adalah bahasa sansekerta dan menggunakan huruf palawa yang diperkirakan
berasal dari abad ke-V Masehi, yang berarti kebudayaan India telah masuk pada
kerajaan itu, kerajaan ini adalah kerajaan Kutai[2],
yang didirikan oleh Kudungga yang merupakan orang asli Indonesia, kebudayaan
India mulai masuk kerajaan ini, ketika raja yang memimpin adalah
Asmawarman,anak dari kudungga, dari prasasti yupa itulah kita mengetahui bahwa kebudayaan india pertama kali
masuk di Indonesia berasal dari kerajaan kutai, karena tidak ada bukti yang
lebih tua dari prasasti yupa.
Sejak kapan dan
bagaimana kebudayaan India ini masuk ke
kerajaan Kutai masih menjadi sebuah misteri, banyak pendapat dari para ahli
tentang proses masuknya agama Hindu di Indonesia, beberapa hipotesis dan
pendapat tentang itu antara lain hipotesis ksatria yang dikemukakan oleh F.D.K
Bosch yang menyebut kebudayaan ini dibawa oleh orang-orang dari golongan
prajurit,yaitu kasta ksatria, oleh karena itu Bosch menyebutnya dengan hipotesis ksatria[3],
yang berarti ini adalah sebuah kolonisasi, ada pula yang berpendapat bahwa
kebudayaan ini dibawa oleh para kaum pedagang yang berdagang di Indonesia,
karena golongan pedagang adalah orang-orang dari kasta waisya, maka hipotesis
ini diberi nama hipotesis waisya,
hipotesis ini dikemukakan oleh N.J Krom[4].
Kedua hipotesis diatas
mendapat penganut yang luas, tapi karena adanya kemajuan penelitian, muncul
sebuah pendapat baru tentang hal ini, Van Leur mengajukan keberatan dengan
kedua hipotesis di atas, keberatan terhadap hipotesis pertama, adalah mengenai
kolonisasi, suatu penaklukan yang mengakibatkan penaklukan oleh golongan
ksatria tentu akan di catat sebagai sebuah kemenangan, catatan yang seperti itu
tidak ada dalam sumber tertulis India. Di Indonesia sendiri juga tidak
ditemukan sebuah bukti pun yang mengatakn tentang hal ini, misalnya pada
prasasti-prasasti. Sedangkan keberatan untuk hipotesis yang kedua adalah kalau
ada pedagang-pedagang India yang menetap, maka diperkirakan bahwa mereka
bertempat tinggal di perkampungan khusus, sampai saat ini kita masih bisa
menemukan kampung keling di beberapa tempat di Indonesia barat. Kedudkan mereka
tidak berbeda jauh dengan rakyat biasa, hubungan dengan para penguasa pun tak
lebih dari sekedar hubungan dagang, dari mereka tidak diindikasi adanya
pertukaran budaya hingga menyebabkan perubahan budaya dalam bidang tata negara
ataupun agama, Van leur lebih cenderung menganggap peran penting penyebaran
budaya dan agama ini kepada golongan-golongan Brahmana.
Mereka datang untuk
memenuhi undangan-undangan para penguasa Indonesia yang tertarik kepada
kebudayaan India , budaya yang diperkenalkan kepada para penguasa Indonesia ini
adalah budaya golongan-golongan Brahmana.
Sesungguhnya dalam
pendapat dari J.C. Van Leur ini sendiri terdapat sebuah keganjilan : Agama
Hindu itu sendiri amat erat kaitannya dengan susunan masyarakat Hindu, yaitu
sistem kasta, dalam agama Hindhu terdapat empat pengikat kasta dan empat tahapan
hidup yang disebut dengan Chatur
Varnashrama[5].
Menurut kepercayaan orang Hindu, manusia lahir dalam kasta dan meninggal pun juga dalam kondisi
kasta, orang tak mungkin pindah dari kasta yang satu ke kasta yang lain, tetapi
ada pendapat yang mengatakan bahwa semua orang Hindu terlahir dalam kasta
Shudra hanya dengan ritus penyucian tertentu seseorang dapat mengklaim dirinya
lahir dua kali (dvija) atau Brahmana
atau oramg – orang yang berkasta lebih tinggi.
Dalam Brihadaranyaka Upanishad (1. 4, 11.5 ),
dalam Manu-smriti (1, 31), dalam mahabharata (
12.188) opini ini diulang-ulang bahwa penciptaan adalah kekuasaan tuhan dan
bahwa tidak seorang pun tinggi atau rendahnya melalui kelahiran. Ini hanya
diperoleh melalui Samsakara ( penyucian, pengalaman,
duniawi, pelatihan ) bahwa seseorang menjadi seorang Brahmana :
“Janmana jayate shudrah samkarairdvija uchyate”
(Semuanya lahir sebagai
orang-orang Shudra, hanya karena melalui ritus-ritus tertentu atau pelatihan
batin seseorang menjadi seorang Brahmana atau lahir dua kali).
Kasta itu sendiri
berbeda dengan kedudukan (stand, kelas). Di dalam sebuah kasta Brahmana ada
orang Brahmin yang kaya dan ada orang brahmin yang miskin.
Agama Hindu pada
dasarnya bukanlah agama untuk umum dala arti agama hindu itu hanya boleh dianut
oleh para anggota kasta, orang-orang diluar kasta atau dibawah kasta itu
disebut sebagai orang paria, dan dianggap sebagai orang biadab (barbaar,
Mlecha). Dan hanya para Brahmana yang diperbolehkan mendalami kitab suci dan
mereka hanya boleh mengadakan upacara-upacara untuk orang-orang didalam kasta, yakni orang
Hindu. Lagipula orang-orang Brahmana mempunyai larangan tak boleh menyeberangi
lautan, jadi bagaimanakah raja-raja Indonesia dapat memanggil orang-orang
Brahmana ke istana mereka?
Inilah suatu keganjilan
yang terjadi, ternyata didalam masyarakat yang amat keras aturannya itu, ada
juga pengecualian.
Dalam kenyataan
tertentu terdapat pelbagai tingkat keketatan pelaksanaan prinsip tersebut. Hal
itu tergantung dari aliran sekte yang bersangkutan, di duga bahwa para Brahman
yang menyeberangi lautan untuk menjadi purohita (pendeta rumah) di kerajaan
Indonesia itu, termasuk aliran yang tidak orthodoks (kolot), adapun aliran atau
sekte agama Hindu yang tersebar pengaruhnya Jawa dan Bali adalah sekte
Saiwa-Siddhanta.
Aliran saiwa-siddhanta
sangat esoteris. Seseorang yang dicalonkan untuk menjadi seorang Brahmanaguru harus mempelajari
kitab-kitab suci agama selama bertahun-tahun sebelum mereka di uji, setelah di
uji, mereka diizinkan menerima inti ajarannya langsung dari seorang Brahmanaguru. Brahmana inilah yang
selanjutnya membimbing hingga dia siap untuk ditasbihkan menjadi Brahmanaguru pula . Setelah ditasbihkan
mereka dianggap telah disucikan oleh siwa dan dapat menerima kehadirannya dalam
tubuhnya pada upacara-upacara tertentu. Dalam keadaan demikian mereka dianggap
dapat mengubah air menjadi amrta.
Brahmana seperti
tersebut di atas lah yang diundang ke Indonesia. Mereka melakukan upacara
khusus untuk dapat menghindukan seseorang. Upacara demikian disebut upacara vratyastoma. Pada dasarnya kesaktian
mereka itulah yang menyebabkan raja-raja Indonesia mengundang para brahmana
ini. Mereka mendapat kedudukan yang terhormat di keraton-keraton dan menjadi
inti golongan brahmana Indonesia yang kemudian berkembang. Penguasaan yang luas
dan mendalam tentang isi dari kitab-kitab suci menempatkan mereka sebagai purohita yang memberi nasihat kepada
para raja bukan hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga mengenai
pemerintahan, peradilan, perundang-undangan, dan sebagainya.
Dari uraian tersebut
sepertinya jelas bagi kita bahwa hubungan dagang antara Indonesia dan India
merupakan suatu faktor dalam proses masuknya pengaruh budaya India. Hubungan
dagang telah menyebabkan terjadinya proses tersebut. Akan tetapi proses itu
sendiri adalah sesuatu yang terpisah dari proses perdagangan. Akibat proses
tersebut, misalnya perubahan dalam birokrasi pemerintahan, memang dapat
berakibat pada jalannya perdagangan, tetapi inti perubahan yang terjadi
sebagian besar terletak pada bidang keagamaan. Hal ini bukan hanya berlaku
untuk bidang-bidang yang jelas bercorak agama seperti sastra, seni rupa, dan
seni bangunan suci, tetapi juga berpengaruh pada tata cara upacara di keraton,
organisasi ketatanegaraan, dan kelembagaan masyarakat.
Para ahli yang telah
meneliti masyarakat Indonesia kuno semua berpendapat bahwa unsur budaya
Indonesia lama masih tampak dominan sekali dalam semua lapisan masyarakat.
Salah satu hal yang mencolok dari agama hindu adalah adanya sistem kasta.
Keterangan – keterangan dari sumber-sumber epigrafi dan sastra kuno, maupun
pengamatan-pengamatan terhadap keadaan di Bali sekarang, tidak menggambarkan
keadaan seperti di India. Kasta memang ada, akan tetapi, ciri-ciri kasta
seperti masyarakat di India tidak terdapat, begitu juga dengan seni arsitektur
seperti yang ada pada candi-candi di Indonesia, bangsa Indonesia hanya
mengambil unsur budaya India sebagai dasar ciptaan nya, akan tetapi hasilnya
adalah sesuatu yang bercorak Indonesia.
Penelitian bahan
epigrafi dan sastra kuno serta ekskavasi arkeologi masih dapat mengungkapkan
keterangan lebih banyak lagi mengenai corak budaya Indonesia kuno yang mendapat
pengaruh kebudayaan India. Akan tetapi , inti proses masuknya pengaruh budaya
India agaknya telah jelas.
Berdasarkan apa yang
telah di ungkapkan diatas, dapat kita ketahui bahwa Upacara vratyastoma dan adanya sistem kasta
pertama di Indonesia, berasal dari Agama hindu ber aliran Saiwa-siddhanta,
adapun kemungkinan upacara vratyastoma pertama
kali dilakukan oleh para brahmana di Indonesia di lakukan untuk mengangkat Asmawarman
menjadi anggota dari suatu kasta dan beragama Hindu. Karena tidak ada bukti
lain yang lebih tua dari prasasti tentang Asmawaran[6].
Dari sinilah akhirnya kebudayaan India dan agama Hindu akhirnya berkembang di
Indonesia.
Terima Kasih . Sangat bermanfaat :)
BalasHapusTerima Kasih . Sangat bermanfaat :)
BalasHapus